Sebagai seorang muslim, kita sama-sama sepakat bahwa tujuan hidup kita di dunia ini adalah beribadah dan taat kepada Allah, sesuai dengan firman Allah dalam surat Adz Dzariyat ayat 56. Dan kita pun sama-sama setuju bahwa peribadahan kita itu adalah suatu usaha untuk memperoleh janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu surga yang dipenuhi dengan segala kenikmatan tiada tara yang sebelumnya tak pernah terbayangkan di pikiran, tak pernah terindra oleh mata atau telinga, serta tak pernah bisa terdefinisikan dalam kata-kata.
Namun, pada kenyataannya di sekeliling kita lebih banyak orang-orang yang tidak taat beribadah sesuai syariat, tidak bersyukur dan bahkan tidak beriman kepada Allah, walaupun Ia mengaku sebagai muslim. Itu artinya penghuni neraka juga akan lebih banyak daripada penghuni surga. Fenomena orang-orang kebanyakan ini banyak sekali disinggung dalam ayat-ayat Al Quran. Beberapa contohnya yaitu :
Dan barang siapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS. Hud (11): 17)
Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur'an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (Ar Ra’d (13):1)
Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS. An nahl (16): 83)
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS Al baqarah (2): 243)
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak beriman. (QS. Asy syuara’(26):8)
Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al A’raf(7): 16-17)
Tujuan lain dari diciptakan dan diutusnya manusia ke bumi adalah untuk menjadi wali Alloh di bumi dan untuk memakmurkannya. Akan tetapi, bagaimana mungkin manusia mampu mengemban amanah yang mulia ini ketika dia tidak mampu ‘berkomunikasi’ dengan si empunya bumi -Alloh SWT-.
Mayoritas manusia juga cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh orang kebanyakan. Kita menganggap bahwa yang dilakukan oleh mayoritas orang adalah suatu kebenaran. Kita menganggap bahwa suara terbanyak adalah keputusan yang harus selalu diikuti. Padahal tidak seperti itu. Parameter kebenaran dalam Islam bukanlah parameter orang kebanyakan. Islam memiliki standar dan parameter yang tetap mengenai definisi kebenaran, yaitu yang sesuai syariat, sesuai dengan Al Quran dan Sunnah. Tidak peduli orang yang mengikuti syariat itu banyak atau sedikit, standar kebenaran itu tidak akan pernah berubah selamanya. Walaupun seiring perkembangan zaman, semakin sedikit yang mengikutinya, kebenaran dalam Islam akan selalu kokoh pada prinsipnya sendiri.
Seringkali ketika banyak orang melakukan kemaksiatan dengan berbagai alasan -misalnya atas dasar seni- kita pun ikut-ikutan melakukannya karena itu sudah menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat. Bahkan ketika tidak ikut-ikutan kita dibilang tidak gaul dan ketinggalan jaman. Banyak sekali contoh kemaksiatan yang sekarang sudah sangat membudaya dalam masyarakat, malah dijadikan symbol kemajuan, symbol pergaulan modern, dan semacamnya. Kita bisa dengan mudah melihat di layar kaca begitu banyak artis-artis yang memamerkan auratnya dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Kita pun sudah terlalu akrab dengan pergaulan remaja yang sangat kelewat batas. Dalam konteks yang lebih sederhana, kita begitu mudah membuang sampah di sembarang tempat karena terlalu banyak orang yang juga berbuat hal yang sama. Sungguh kondisi yang mengiris hati nurani.
Tentu akan sangat berbahaya jika kita menjadikan parameter orang kebanyakan sebagai parameter kebenaran. Kita tidak membiasakan yang benar tapi malah membenarkan yang biasa. Hasilnya adalah, karena mengikuti orang kebanyakan, kita jadi terjauhkan dari kebenaran sejati, kita jadi terjauhkan dari cita-cita surga kita, kita jadi terseret orang kebanyakan berkubang dalam lumpur kehinaan dunia akhirat.
Hal ini menegaskan kepada kita bahwa ketika kita memutuskan untuk menjadi seorang muslim sejati, yang bukan hanya muslim identitas belaka, kita harus siap untuk menjadi orang yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan di sekitar kita. Jika sebagian besar manusia di muka bumi akan masuk neraka, maka untuk bisa menjadi orang-orang terpiih yang mengisi keabadian dengan menghuni surga, kita harus beramal dan beribadah jauh lebih banyak daripada orang-orang kebanyakan. Kita harus menjadi orang yang luar biasa.
Karena itu, standar hidup kita haruslah lebih tinggi daripada orang kebanyakan. Kerja-kerja dan amalan ibadah kita adalah kerja dan amal yang lebih baik daripada orang kebanyakan. Itulah syarat untuk mencapai cita-cita kita menuju surga. Karena kenikmatan surga adalah nikmat yang luar biasa, usaha kita untuk bisa mendapatkannya pun juga harus luar biasa, melebihi apa yang dilakukan oleh orang kebanyakan.
Jika kita meyakini bahwa kita harus lebih baik dari orang kebanyakan untuk meraih cita-cita surga kita, maka ketika orang lain sering lalai dengan shalatnya, mengerjakannya di akhir waktu, tidak berjamaah di Masjid untuk kaum laki-laki, kita harus tetap istiqomah untuk senantiasa menyempurnakan shalat di awal waktu dengan berjamaah di Masjid. Tidak ada lagi alasan,” Yang lain kan juga nggak shalat di masjid, jadi gak papa dong kalau aku juga shalat di rumah”.
Jika waktu rapat semua orang datang terlambat dari waktu yang ditentukan, tidak ada pembenaran bahwa kita juga boleh datang terlambat. Karena standar kita bukan orang kebanyakan, tapi standar kita adalah syariat Islam. Ketika Islam mengajarkan kita untuk disiplin dan menepati janji, maka kita akan senantiasa disiplin dan menepati janji, walaupun tak ada seorang pun yang disiplin. Karena kita tidak ingin nasib kita sama seperti orang kebanyakan, dilemparkan ke neraka karena tidak beriman. Karena mengikuti orang kebanyakan dan menjadikan perbuatan mereka sebagai standar perbuatan sama artinya dengan merelakan kulit kita dilalap api neraka. Naudzubillahi min dzalik.
Pilihan kita hanya dua: larut dalam standar hidup orang kebanyakan atau mentransformasi diri untuk menjadi lebih baik daripada orang-orang kebanyakan. Masing-masing pilihan punya konsekuensi sendiri-sendiri. Berpuas diri dengan standar perilaku orang kebanyakan memang mudah, tapi itu akan membuat kita jauh dari surga dan terancam dilumat api neraka. Sedangkan menjadi orang yang istiqomah berpegang pada standar hidup Islam memang tidak mudah. Ia harus melampaui apa yang dikerjakan oleh banyak orang. Tapi itulah harga surga. Hanya orang-orang yang mau menjadi luar biasa yang bisa membayar tiket masuknya.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
(Al Baqarah : 214)
So, be extraordinary moslem??? Why not….
Wallohu a’lam…
(diambil dari cerita kawan dg editing tanpa mengurangi isi)
1 komentar:
Posting Komentar