Jumat, 10 Februari 2012 | By: e_yanuarto

Disiplin = Bukan Jarkoni

Setiap orang kemungkinan besar akan mengangkat tangan tanda setuju ketika membicarakan disiplin sebagai syarat dari kesuksesan. Baik kesuksesan di dunia maupun kesuksesan di akhirat nanti. 

Bagi sebuah lembaga bisnis, baik yang masih perseorangan maupun yang sudah berbentuk Perseroan apalagi yang sudah melantai di bursa saham, sudah menjadi hal yang fardhu ketika hendak meraih keberhasilan dalam usahanya ditempuh dengan disiplin di setiap lini perusahaan. Mulai dari pimpinan alias manajemen atas sampai pada level paling bawah -OB- pun harus menerapkan sikap disiplin dalam setiap aktivitas pekerjaannya.

Dan sudah menjadi hal yang lumrah ketika dalam kesehariannya, pimpinan menjadi contoh bawahan. Apa yang dikatakan pimpinan akan didengarkan dengan baik oleh bawahan. Apa yang dilakukan oleh pimpinan juga dilihat oleh bawahan dan ada kemungkinan akan ditirunya –children see, children do-. Demikian juga dengan aplikasi kedisiplinan dalam keseharian pimpinan. Satu contoh sederhananya adalah terkait jam kedatangan pimpinan dan jam pulang yang akan ‘dilihat’ pula oleh bawahannya. Sejauhmana konsekuensi akan kedisiplinannya sangatlah ‘terpantau’ oleh bawahannya. Oleh karena itu, tak salah apabila pimpinannya benar-benar disiplin, bawahannya secara langsung maupun tidak akan menerapkan nilai disiplin itu. 

Ruh disiplin itu seperti dicoreng oleh para pimpinan itu sendiri. Mereka rutin gembar-gembor untuk disiplin bekerja. Bahkan mungkin intensitasnya sudah mencapai tingkat sering sekali. Akan tetapi, yang terjadi adalah para pimpinan itu sendiri sering juga menodainya.


Perintah supaya datang sebelum jam kerja dimulai sudah sering didengar para bawahan keluar dari mulut gua pimpinannya. Bak sebuah pepatah, karna nilai setitik rusak susu sebelanga. Suatu hari, pejabat teras perusahaan datang melebihi jam yang ditentukan -telat-. Mungkin pimpinan tidak dengan menyengaja terlambat ngantor, tetapi pada saat terlambat itulah bawahannya menyaksikan langsung dengan mata kepalanya sendiri bukan dengan mata pinjam punya teman kerjanya apalagi pinjam bank ataupun koperasi karyawan yang sudah pasti ada bunganya. Hal tersebut juga tidak hanya terjadi sekali, tetapi sedikitnya sudah terulang tiga kali.

Flashback beberapa hari sebelumnya, selidik punya selidik sang bos kecil itu baru saja gembar-gembor ihwal produktivitas dan efisiensi yang tentunya tanpa meninggalkan unsur kedisiplinan. Rasanya bak garam dalam sebuah masakan ketika disiplin tidak diajak dalam orasi kecilnya. Dengan mengambil contoh yang tidak jauh adalah dirinya sendiri. Ia memberikan gambaran bahwa dirinya datang tepat waktu alias on time -belum pernah terlambat sekalipun-. Namun apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Orasi kecil itu sudah masuk kedalam telinga staffnya dengan utuh dan sangat dalam. Hal inilah yang menjadi preseden bagi staffnya itu dan membuahkan persepsi bahwa terkadang komitmen akan kedisiplinan tidak seberat berat badannya.

Memang begitu mudahnya kata itu diucapkan, semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, efek kejut yang ditimbulkan ketika hal itu tidak diaccept 100% dalam aktifitas kesehariannya akan berpotensi menggoncang keharmonisan organisasi. Dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan jarkoni, yang berarti bisa ngajar (berbicara tentang hal tersebut) tapi tidak bisa nglakoni (tidak bisa melakukan). Bahasa kerennya dikenal dengan ‘omong doang’. Bunyinya begitu nyaring tetapi tidak ada isi atawa esensi yang bisa diambil dari perkataannya karena ia sendiri yang mencederai perkataannya itu.

Untuk sekelas manajer sebuah perusahaan apalagi posisi diatasnya, perkataan mereka akan didengarkan dengan baik-baik oleh para staffnya. Unsur kehati-hatian sangat perlu diperhatikan, jangan sampai ketika mengucapkan sesuatu atau memberikan instruksi tertentu kepada bawahannya seperti kedisiplinan, tetapi ia sendiri tidak melakukannya. Dalam hal ini Alloh telah mengingatkan dalam Al Qur’an surat AshShaff ayat 2 : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”.
Akan menjadi suatu aib bagi siapa pun ketika melakukan pengingkaran atas ucapannya sendiri, apalagi bagi seorang pimpinan yang kedudukannya selalu dilihat bawahannya. 

Allohua’lam…

0 komentar:

Posting Komentar