Jumat, 22 Juni 2012 | By: e_yanuarto

Kejutan Yang Dikabari


Ada sesuatu yang begitu membahagiakan terjadi di akhir pekan yang lalu. Teman seperjuangan di kampus menghubungi saya, mengajak untuk ketemuan dan hang out ke daerah ‘Kota TuaIbukota (kelak saya akan mengetahui bahwa akhirnya rencana tersebut gatot a.k.a gagal total). Deal! Akhirnya, dalam hitungan jam Dia menyambangi saya di kamar kos seukuran 3 meter yang menjadi tempat berteduh dan berlindung selama beberapa bulan terakhir ini. Obrolan ringan mulai terjadi diantara kami, candaan pun tak ketinggalan sebagai bumbu penyedap yang menjadikan sore itu semakin hangat.

Sedang asyiknya mengobrol dan bercanda ria, tiba-tiba terdengar lagu Insan Utama kepunyaan Hadad Alwi yang menjadi ringtone Hand Phone berwarna hitam buatan tahun 2009 itu. Segera kuraih dan terpampang dengan jelas nama adik saya dalam layar yang bergambar langit dan awan. Tombol hijaupun kupencet sebagai tanda menerima panggilan itu.

“Assalamu’alaikum, mas...” adikku mengawali percakapan.
“Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh. Iya De,. Gimana?” jawabku cukup singkat.
“Mas lagi dimana? Aku mau ke Jakarta sore ini.”sambungnya.
“Lagi di kosan De. Loh kok ke Jakarta? Katanya mau ke Palembang?” timpalku agak kaget.
“Iya mas, pesawatku transit dulu di Jakarta. Eh, ternyata pesawat yang sambung ke Palembang delayed sampai besok pagi. Aku mau mampir dulu ke kosan mas.” terang adikku menjelaskan kronologinya.
“O o o.... ya sudah kesini aja De, jadi bisa sekalian ketemu.” sambungku dalam percakapan itu.
“Iya mas, mungkin sampai Jakarta sekitar jam 9 malem. Ya sudah itu dulu mas, ini aku lagi mau check in, nanti aku kabari lagi. Wassalamu’alaikum...” adikku menambahkan sambil memberi tanda untuk mengakhiri percakapan.
“iya hati-hati yah... Nanti aku jemput. Wa’alaikumsalam..” jawabku sambil menekan tombol merah menutup percakapan.

Dapat kabar membahagiakan kalau adik mau mampir kekosan, dipikiranku saat itu terlintas dua hal keputusan yang akan diambil. Pertama, rencana dengan kawan untuk ngebolang ke Kota Tua -terpaksa- dibatalkan. Keputusan kedua adalah mengabari Ibu. Dan ternyata diluar dugaan, Ibu justru tertarik untuk datang juga ke Jakarta. Beliau beranggapan mungkin inilah waktu yang tepat untuk berkumpul, mengingat lebaran nanti tidak bisa bersua dengan adik saya karena dia ada tugas dari kantor tempatnya bernaung mengais rizki. Tanpa pikir panjang Ibu segera menyuruh adik bungsu saya untuk segera pergi ke terminal mencari tiket. Waktu yang sudah menunjukan pukul 16.30 menandakan bahwa batas waktunya sudah sangat tipis, lantaran bus dari Purwokerto biasanya berangkat ke Jakarta sekitar pukul 17.30. Hampir saja kehabisan, karena butuh empat tiket dan yang tersedia tinggal lima buah. Alhamdulillah tiket yang dibutuhkan berhasil didapat. Bersama si bungsu, Bu Lik, dan adik sepupu, Ibu berangkat ke Ibukota.
******

Alhamdulillah adik saya tiba dengan selamat di Jakarta sekitar pukul 22.05. Sesampainya dikamar kos, rasa haru dan bahagia pun bercampur aduk menjadi satu karena memang ini adalah pertemuan kali pertama sejak beberapa bulan lalu bertemu di pemakaman Ayah. Obrolan ngalor-ngidul gak karuan pelepas rasa kangen stadium empat antara saya dan adik tak dapat dihindari lagi, dan tak ketinggalan pula teman saya ikut membaur dalam celotehan malam itu. Jam digital berwarna putih di kamar menampakan angka 24.10, dan inilah waktunya untuk istirahat karena ba’da subuh nanti saya mesti jemput Ibu di terminal.

Pagi pun menjelang, kicauan burung pun ikut menyambut dan meramaikan pagi nan sejuk dan damai. Meskipun burung peliharaan dalam sangkar, namun kicauannya sudah cukup untuk membuat gaduh sekomplek. Segera kupacu ‘kuda besi’ kesayangan menuju ke terminal bertemu Ibu dan saudara-saudara yang sudah menunggu disana yang ternyata kedatangannya lebih awal dari dugaan. Tepat pukul 04.25 kami sampai di kos.

Pertemuan yang begitu haru ketika kami berpelukkan. Inilah pertama kalinya kami sekeluarga  bertemu lagi setelah terakhir bertemu ketika mengantar Ayah ke liang lahat sekitar lima bulan yang lalu. Saking harunya, sempat setetes air mata tanda bahagia yang begitu dalam menetes dati mata, tapi segera kuhapus. Saya nggak ingin terlihat ‘cengeng’ di depan Ibu. Sebagai anak pertama, saya yang berperan seolah-olah menjadi ‘ayah’ baru dikeluarga. Disinilah kurasakan begitu berharganya Ayah dan keluarga, serta indahnya silaturahim.
"......Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
 QS An Nisaa:1

Komunikasi via mobile phone terus kulakukan untuk menjaga silaturahim dan keharmonisan keluarga. Jarak yang memisahkan kami semua lantaran tempat meraih rizki kami yang berbeda-beda. Saya di Ibukota, adik di Tanjung Balai Karimun - Kepulauan Riau, dan Ibu sama adik bungsu di tanah kelahiran -Banyumas-.
Setelah berpisah cukup jauh, keluarga memang menjadi hal yang sangat berarti. Silaturahim ini terasa sangat indah. Memang benar sebuah pameo mengatakan, “Terkadang kita merasakan berharga pada saat hal itu terpisah dengan kita”, seperti bahagianya nikmat sehat ketika kita sedang sakit. Saya tahu, bahkan sangat paham bahwa pertemuan kali ini hanya sebentar saja. Hari itu juga tepatnya ketika matahari sampai pada ujungnya, Adik mesti melanjutkan perjalanannya ke Palembang untuk mengemban tugas disana. Sementara itu, sore harinya Ibu dan si Bungsu akan balik lagi ke hometown di Banyumas.

Mengetahui hal itu, rasanya ingin sekali diri ini menghentikan perputaran detik jam agar pertemuan ini semakin lama. Namun apa daya tangan tak sampai untuk memeluk gunung, sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan untuk saya menghentikan detik jam meskipun hanya satu detik. Akhirnya saatnya berpisah pun tiba. Sedih rasanya berpisah, tetapi juga tidak bisa berbuat lebih banyak untuk membuat pertemuan lebih lama lagi. Dengan lirih terucap doa dalam lubuk hatiku, semoga pertemuan ini pertemuan yang diridhoi Alloh SWT dan semoga kami sekeluarga bisa berkumpul lagi merasakan indahnya kebersamaan dan kehangatan nikmatnya bersilaturahim. Dan yang pasti, kangen dengan masakannya hehe...

Sebelum naik ke bus yang akan mengantarkannya pulang, Ibu sempatkan untuk memelukku sambil mengatakan seuntai kalimat sayangnya, “Hati-hati ya Nak, Ibu selalu mendoakan untuk kebaikanmu. Kabari Ibu selalu dan terima kasih untuk kejutan yang dikabari ini”.
*******
Menjadi anak yatim/piatu adalah hal yang tidak diinginkan oleh setiap anak meskipun tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakannya dan ikhlas berserah diri ketika Alloh SWT menghendaki hal itu. Demikian juga dengan diri ini, hanya lantunan doa yang bisa dilakukan sebagai wujud bakti kepada orang tua (Ayah) yang telah beristirahat untuk selamanya dalam galian tanah berukuran 1x2 meter.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”
QS Al ‘Ankabuut: 57
Kuakui, memang belum banyak yang diperbuat untuk membahagiakan Ayah sebelum ia pergi. Masih hangat diingatanku, hanya selembar kain sarung berwarna putih yang kuhadiahkan lebaran silam dan hanya dua kali kulihat dipakainya sebelum beliau jatuh sakit. Berbanding sangat jauh dengan apa yang telah beliau berikan padaku.

Cara yang ampuh untuk membahagiakan salah satu atau bahkan kedua orang tua yang sudah lebih dahulu menghadap Yang Maha Kuasa, yaitu dengan menjadi anak sholih yang secara kontinyu mendoakannya. Ya! Kontinyu alias istiqomah untuk berdoa. Anak sholih menjadi asset yang sangat berharga bagi orang tua. Setelah orang tua meninggal dunia, terputuslah semua amal, terputus pula hingar bingar dunia dan segala kenikmatannya, terkecuali tiga hal -sebagai mana tercantum dari sebuah hadits-. Yang pertama adalah ilmu yang bermanfaat untuk kebaikan, lalu harta yang digunakan untuk beramal jariyah, serta anak sholih yang -secara istiqomah- senantiasa mendoakannya. Mereka yang sudah di alam berbeda, tidak lagi membutuhkan hadiah apapun dari anak-anaknya selain doa. Maka, menjadi anak sholih yang mendoakannya adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi, dengan kata lain hal itu wajib -fardhu- dilakukan sebagai wujud bakti anak kepada orang tua yang telah pergi meninggalkannya.


So, marilah berfastabiqul khoirot menjadi anak yang sholih dan mendoakan orang tua kita yang sudah tiada. Jaga dan sayangilah yang masih ada. Bahagiakanlah sebisa kita membahagiakannya. Kata Ebiet G Ade, mumpung “Masih Ada Waktu”, bersyukurlah dan jangan sia-siakan kesempatan yang masih diberikan untuk kita. Jangan sampai yang ada tinggal penyesalan.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
QS Ibrahim: 7
Wallohu a’lam...

0 komentar:

Posting Komentar