Ada sesuatu yang begitu membahagiakan
terjadi di akhir pekan yang lalu. Teman seperjuangan di kampus menghubungi
saya, mengajak untuk ketemuan dan hang
out ke daerah ‘Kota Tua’ Ibukota (kelak saya akan mengetahui bahwa akhirnya
rencana tersebut gatot a.k.a gagal total). Deal! Akhirnya, dalam hitungan jam Dia
menyambangi saya di kamar kos seukuran 3 meter yang menjadi tempat berteduh dan
berlindung selama beberapa bulan terakhir ini. Obrolan ringan mulai terjadi
diantara kami, candaan pun tak ketinggalan sebagai bumbu penyedap yang
menjadikan sore itu semakin hangat.
Sedang asyiknya mengobrol dan bercanda ria, tiba-tiba
terdengar lagu Insan Utama kepunyaan Hadad Alwi yang menjadi ringtone Hand Phone berwarna hitam buatan tahun 2009 itu. Segera kuraih dan terpampang dengan
jelas nama adik saya dalam layar yang bergambar langit dan awan. Tombol hijaupun
kupencet sebagai tanda menerima panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, mas...” adikku mengawali
percakapan.
“Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh. Iya De,.
Gimana?” jawabku cukup singkat.
“Mas lagi dimana? Aku mau ke Jakarta sore ini.”sambungnya.
“Iya mas, pesawatku transit dulu di Jakarta. Eh, ternyata
pesawat yang sambung ke Palembang delayed
sampai besok pagi. Aku mau mampir dulu ke kosan mas.” terang adikku menjelaskan
kronologinya.
“O o o.... ya sudah kesini aja De, jadi bisa sekalian
ketemu.” sambungku dalam percakapan itu.
“Iya mas, mungkin sampai Jakarta sekitar jam 9 malem.
Ya sudah itu dulu mas, ini aku lagi mau check
in, nanti aku kabari lagi. Wassalamu’alaikum...” adikku menambahkan sambil memberi
tanda untuk mengakhiri percakapan.
“iya hati-hati yah... Nanti aku jemput. Wa’alaikumsalam..”
jawabku sambil menekan tombol merah menutup percakapan.
Dapat kabar
membahagiakan kalau adik mau mampir kekosan, dipikiranku saat itu terlintas dua
hal keputusan yang akan diambil. Pertama, rencana dengan kawan untuk ngebolang ke Kota Tua -terpaksa-
dibatalkan. Keputusan kedua adalah mengabari Ibu. Dan ternyata diluar dugaan, Ibu
justru tertarik untuk datang juga ke Jakarta. Beliau beranggapan mungkin inilah
waktu yang tepat untuk berkumpul, mengingat lebaran nanti tidak bisa bersua
dengan adik saya karena dia ada tugas dari kantor tempatnya bernaung mengais
rizki. Tanpa pikir panjang Ibu segera menyuruh adik bungsu saya untuk segera
pergi ke terminal mencari tiket. Waktu yang sudah menunjukan pukul 16.30
menandakan bahwa batas waktunya sudah sangat tipis, lantaran bus dari
Purwokerto biasanya berangkat ke Jakarta sekitar pukul 17.30. Hampir saja
kehabisan, karena butuh empat tiket dan yang tersedia tinggal lima buah. Alhamdulillah
tiket yang dibutuhkan berhasil didapat. Bersama si bungsu, Bu Lik, dan adik
sepupu, Ibu berangkat ke Ibukota.
******
Alhamdulillah adik saya tiba dengan selamat di Jakarta
sekitar pukul 22.05. Sesampainya dikamar kos, rasa haru dan bahagia pun
bercampur aduk menjadi satu karena memang ini adalah pertemuan kali pertama
sejak beberapa bulan lalu bertemu di pemakaman Ayah. Obrolan ngalor-ngidul gak karuan pelepas rasa kangen
stadium empat antara saya dan adik tak dapat dihindari lagi, dan tak
ketinggalan pula teman saya ikut membaur dalam celotehan malam itu. Jam digital
berwarna putih di kamar menampakan angka 24.10, dan inilah waktunya untuk
istirahat karena ba’da subuh nanti saya mesti
jemput Ibu di terminal.
Pagi pun menjelang, kicauan burung pun ikut menyambut
dan meramaikan pagi nan sejuk dan damai. Meskipun burung peliharaan dalam
sangkar, namun kicauannya sudah cukup untuk membuat gaduh sekomplek. Segera
kupacu ‘kuda besi’ kesayangan menuju ke terminal bertemu Ibu dan
saudara-saudara yang sudah menunggu disana yang ternyata kedatangannya lebih
awal dari dugaan. Tepat pukul 04.25 kami sampai di kos.
Pertemuan yang begitu haru ketika kami berpelukkan.
Inilah pertama kalinya kami sekeluarga bertemu
lagi setelah terakhir bertemu ketika mengantar Ayah ke liang lahat sekitar lima
bulan yang lalu. Saking harunya, sempat setetes air mata tanda bahagia yang
begitu dalam menetes dati mata, tapi segera kuhapus. Saya nggak ingin terlihat ‘cengeng’
di depan Ibu. Sebagai anak pertama, saya yang berperan seolah-olah menjadi ‘ayah’
baru dikeluarga. Disinilah kurasakan begitu berharganya Ayah dan keluarga,
serta indahnya silaturahim.
"......Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu."
QS An Nisaa:1
Komunikasi via mobile
phone terus kulakukan untuk menjaga silaturahim dan keharmonisan keluarga. Jarak
yang memisahkan kami semua lantaran tempat meraih rizki kami yang berbeda-beda.
Saya di Ibukota, adik di Tanjung Balai Karimun - Kepulauan Riau, dan Ibu sama
adik bungsu di tanah kelahiran -Banyumas-.
Setelah berpisah cukup jauh, keluarga memang menjadi
hal yang sangat berarti. Silaturahim ini terasa sangat indah. Memang benar
sebuah pameo mengatakan, “Terkadang kita merasakan berharga pada saat hal itu
terpisah dengan kita”, seperti bahagianya nikmat sehat ketika kita sedang
sakit. Saya tahu, bahkan sangat paham bahwa pertemuan kali ini hanya sebentar
saja. Hari itu juga tepatnya ketika matahari sampai pada ujungnya, Adik mesti
melanjutkan perjalanannya ke Palembang untuk mengemban tugas disana. Sementara
itu, sore harinya Ibu dan si Bungsu akan balik lagi ke hometown di Banyumas.
Mengetahui hal itu, rasanya
ingin sekali diri ini menghentikan perputaran detik jam agar pertemuan ini
semakin lama. Namun apa daya tangan tak sampai untuk memeluk gunung, sesuatu
yang tidak mungkin bisa dilakukan untuk saya menghentikan detik jam meskipun
hanya satu detik. Akhirnya saatnya berpisah pun tiba. Sedih rasanya berpisah,
tetapi juga tidak bisa berbuat lebih banyak untuk membuat pertemuan lebih lama
lagi. Dengan lirih terucap doa dalam lubuk hatiku, semoga pertemuan ini
pertemuan yang diridhoi Alloh SWT dan semoga kami sekeluarga bisa berkumpul
lagi merasakan indahnya kebersamaan dan kehangatan nikmatnya bersilaturahim.
Dan yang pasti, kangen dengan masakannya hehe...
Sebelum naik
ke bus yang akan mengantarkannya pulang, Ibu sempatkan untuk memelukku sambil
mengatakan seuntai kalimat sayangnya, “Hati-hati ya Nak, Ibu selalu mendoakan
untuk kebaikanmu. Kabari Ibu selalu dan terima kasih untuk kejutan yang dikabari ini”.
*******
Menjadi anak yatim/piatu adalah hal yang tidak
diinginkan oleh setiap anak meskipun tidak bisa berbuat apa-apa selain
mendoakannya dan ikhlas berserah diri ketika Alloh SWT menghendaki hal itu.
Demikian juga dengan diri ini, hanya lantunan doa yang bisa dilakukan sebagai
wujud bakti kepada orang tua (Ayah) yang telah beristirahat untuk selamanya
dalam galian tanah berukuran 1x2 meter.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”
QS Al ‘Ankabuut: 57
Kuakui, memang belum banyak yang diperbuat untuk
membahagiakan Ayah sebelum ia pergi. Masih hangat diingatanku, hanya selembar
kain sarung berwarna putih yang kuhadiahkan lebaran silam dan hanya dua kali
kulihat dipakainya sebelum beliau jatuh sakit. Berbanding sangat jauh dengan
apa yang telah beliau berikan padaku.
Cara yang ampuh untuk membahagiakan salah satu atau bahkan
kedua orang tua yang sudah lebih dahulu menghadap Yang Maha Kuasa, yaitu dengan
menjadi anak sholih yang secara kontinyu mendoakannya. Ya! Kontinyu alias
istiqomah untuk berdoa. Anak sholih menjadi asset yang sangat berharga bagi
orang tua. Setelah orang tua meninggal dunia, terputuslah semua amal, terputus
pula hingar bingar dunia dan segala kenikmatannya, terkecuali tiga hal -sebagai
mana tercantum dari sebuah hadits-. Yang pertama adalah ilmu yang bermanfaat
untuk kebaikan, lalu harta yang digunakan untuk beramal jariyah, serta anak
sholih yang -secara istiqomah- senantiasa mendoakannya. Mereka yang sudah di
alam berbeda, tidak lagi membutuhkan hadiah apapun dari anak-anaknya selain
doa. Maka, menjadi anak sholih yang mendoakannya adalah harga mati yang tidak
bisa ditawar lagi, dengan kata lain hal itu wajib -fardhu- dilakukan sebagai
wujud bakti anak kepada orang tua yang telah pergi meninggalkannya.
So, marilah berfastabiqul khoirot menjadi anak yang sholih dan mendoakan orang tua kita yang sudah tiada. Jaga dan sayangilah yang masih ada. Bahagiakanlah sebisa kita membahagiakannya. Kata Ebiet G Ade, mumpung “Masih Ada Waktu”, bersyukurlah dan jangan sia-siakan kesempatan yang masih diberikan untuk kita. Jangan sampai yang ada tinggal penyesalan.
Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
QS Ibrahim: 7
Wallohu
a’lam...
0 komentar:
Posting Komentar